Thursday, August 21, 2014

“Di Batas Ambang Garis Awan”

               Pagi ini cuaca begitu cerah, semuanya sempurna. Semua barangku sudah tersusun rapi dalam tas ransel biru yang aku beli 2 bulan lalu. Tinggal menunggu mereka datang menjemputku. Aku mengenyakkan diri di bangku depan ruang tamu kost. Ruang yang pernah menjadi tempat favoritku untuk menunggu. Tempat yang dulu selalu aku rindukan, sama seperti aku merindukan kehadirannya di sini. Tempat kami biasa berbincang dulu. Ah, lagi lagi aku mengaitkan semuanya dengan dirinya. Lagi lagi aku gagal melupakan dirinya. 

                “Nikaaaaaa. . . .Ayo berangkat!” Deg, sedikit kaget ketika teman teman memanggilku. Lagi lagi lamunanku tentangnya sudah terlalu dalam. Segera ku tepis semua kabut di otakku yang mencoba membentuk kembali memori masa lalu itu. Ku ambil ransel biru yang sedari tadi teronggok diam di atas meja. Kutatap sekali lagi ruang itu, ruang tamu sepi yang penuh dengan ingatan tentangnya. Selamat tinggal kenangan, selamat tinggal masa lalu. Aku akan pergi dan berusaha melupakan dirinya. Bukan karena aku tak mau mengejarnya, hanya saja aku tahu bahwa tak baik menginginkan orang yang sudah menjadi kekasih temanmu.



“Baiklah, kita akan berpencar menjadi 3 kelompok!”
“Rio, Dewa, Ayu di kelompok pertama!  Aku, Nika, dan Armi di kelompok ke dua! Dan sisanya masuk kelompok tiga!” Rian mulai memberi instruksi.
“Siaaaaaap!!!!” Jawab kami serentak.
“Berangkat!”

                Bau hutan yang begitu segar dan sejuk. Pohon pohon yang menjulang tinggi menggapai langit. Hijau daun yang merayu mataku sepanjang perjalanan. Semuanya indah dan begitu cantik. Perjalananku menaiki gunung kali ini memang berdasarkan sebuah alasan konyol. Yah, alasan konyol itu memang tak membuatku menyesal karena bisa membuatku berada di sini. Dikelillingi hutan dan semak semak hijau. Ahh,. Setidaknya hijau dedaunan disini akan menyamarkan sedikit lebam biru di hatiku. Setidaknya rapatnya hutan ini akan menyembunyikan hatiku yang pengecut. Oh gunung yang menjulang, biarkan kususuri lekuk indah punggungmu seiring mengelupasnya rasa sakit di hatiku atas semua penghianatan yang telah ku alami.

Huah, sial! Mereka cepat sekali! Kakiku sepertinya mulai lelah, tapi aku tak bisa bilang pada mereka. Aku tak mau memperlambat mereka dengan meminta mereka istirahat. Aku harus bertahan, setidaknya sampai pos berikutnya.
“Nika, ada apa? Percepat langkahmu, kita harus meyusul yang lain!”
“Aku tahu,….” Jawabku sedikit tergagap. Aku tak sadar Rian ternyata mengamatiku sedari tadi.
“Apa kau lelah? Kita bisa beristirahat sejenak disini, jangan paksakan dirimu.”
“Ti…tidak, itu tidak perlu. Aku tak apa!” Uh, dia pasti sadar aku mulai kelelahan. Tapi aku tak mau memperlambat kelompok ini. Aku tak mau menyusahkan mereka.
“Kau yakin? Mukamu terlihat pucat, istirahatlah! Jangan sampai kau membuatku susah dengan menggendong tubuhmu yang pingsan!” ketusnya.
“Sial!!!! Apa apaan dia! Menyebalkan sekali….” Rutukku dalam hati.
“Hey, ayo kita istirahat disini. Aku lelah dan haus! Aku tak bisa berjalan lebih jauh lagi.” Jawab Armi seraya menatapku dingin.
“Oke, sepertinya kita memang harus istirahat disini. 10 menit dan kita lanjutkan perjalanan!” Lanjut Rian sambil menurunkan ransel di punggungnya.

                Aku sedikit terkejut dengan tatapan Armi, apa dia sengaja menolongku? Aku memang tak cukup mengenalnya. Aku hanya tau dia mahasiswa semester akhir yang sangat suka naik gunung. Sedangkan aku baru beberapa kali mencoba untuk naik gunung. Dan ini pertama kalinya aku menaiki gunung setinggi ini. Apa dia tau kalau aku tak cukup berpengalaman dengan medan seperti ini? Mungkin aku harus ber terima kasih padanya nanti.
“Haaaaii, kalian lama sekali! Kami sudah tiba disini setengah jam yang lalu.” Sambut Rio. Lima jam perjalanan dan akhirnya kami sampai puncak. Di perjalanan tadi kami memang (terlalu) banyak beristirahat. Entahlah hanya perasaanku atau memang Armi sengaja meminta kami untuk beristirahat saat aku tengah kelelahan.
“Armi terus terusan minta istirahat di jalan, Dia merengek seperti bayi dari tadi!” Cetus Rian seraya menatapku kesal. Uhhh.. aku merasa sedikit bersalah padanya! Tapi ini memang pertama kalinya aku naik gunung dengan medan seberat ini.
“Armi merengek minta istirahat? Apa tidak salah? Bukankah dia yang paling jago diantara kita semua dalam urusan ini? Hahahaha…ada apa denganmu Armi?” Sambung Dewa.
“Mungkin dia mulai tua, hahahahahahaha.” Kelakar Rio seraya menepuk bahu Armi.
“Aku hanya berusaha membuat semua orang di kelompokku menikmati perjalanan. Itu saja…” Jawab Armi santai.
                Aku terhenyak dengan jawaban Armi. Kupingku sedikit memerah mendengarnya. Entah apa maksud kalimat yang barusan ia ucapkan, tapi aku merasa dia mengatakan hal itu untukku. Aku masih ternganga ketika Armi kemudian menengok ke arahku dan menatapku dingin. Uwaaaah…Aku tak sanggup menatap matanya terlalu lama. Ada yang menusuk dari pandangan matanya. Lebih baik aku tak banyak berulah selama perkemahan ini. Aku tak mau mengacaukan jadwal mereka. Aku harus fokus dan kuat. Akan kunikmati perjalanan ini sebaik baiknya. Karena setelah ini, akan kutinggal semua luka hatiku di sini. Dan aku akan menuruni gunung ini dengan sebentuk hati baru yang lebih ikhlas.

to be continue...

--------------------------------------------------***------------------------------------------------------

No comments:

Post a Comment