Sekali aku pernah membacanya, tentang hal memberi. Daripada sekedar memberi mereka ikan, akan lebih baik mengajari mereka cara memancing ikan. Tentu kalimat ini harus disikapi dengan cara yang bijaksana. Pada siapa kau memberi, bagaimana kau memberi, itu semua mempengaruhi.
Apabila ada seorang kelaparan mengetuk pintu rumahmu, meminta sedikit belas kasihmu untuk secuil roti sisa. Apa yang akan kau lakukan? Memberinya sekarung tepung dan beberapa resep roti yang lezat? atau mengajaknya masuk ke ruang makan dan memberi mereka sepotong roti segar dan susu hangat?
Prioritas, waktu, keadaan dan variabel lainnya adalah hal yang sanggup merubah hal hal sepele menjadi begitu rumit dan kompleks. Merubah kebaikan menjadi kejahatan, atau sebaliknya.
- Dua orang pemuda bersahabat sejak kecil, yang satu kaya yang satunya lagi miskin. Suatu hari si miskin mencuri sekantung uang dari rumah si kaya untuk membayar biaya obat ibunya yang sakit. Si miskin mengakui kejahatannya pada si kaya. Si kaya menunjukan belas kasihnya dengan memaafkan perbuatan sahabatnya, dengan syarat ia tak boleh lagi mencuri. Sementara itu Si kaya menutupi perbuatan si miskin dengan mengatakan pada orangtuanya bahwa ia menghabiskan uang itu untuk bersenang senang di kota. Dan untuk selanjutnya si kaya meminta pada orangtuanya untuk mempekerjakan si miskin sebagai perawat ternak di rumah mereka. Si kaya memberi kesempatan pada sahabatnya bukan lagi untuk mencuri tapi untuk bekerja dan mendapatkan uang dengan layak.
Lihatlah bagaimana ia memaafkan perbuatan mencuri yang dilakukan si miskin karena dia tahu bahwa "sebuah keadaan" memaksa si miskin melakukannya. Lihat juga bagaimana si kaya membebankan si miskin sebuah pekerjaan sebagai bayaran atas perbuatan mencurinya. Bukan dengan memberinya "uang sukarela" tapi memberinya "sarana" untuk mendapatkan uang, yaitu dengan pekerjaan layak. Sebuah kejahatan yang disikapi dengan baik bisa menghasilkan kebaikan. - Dua anak kembar yang benar benar mirip satu sama lain sedang berjalan menuju rumah seusai pulang sekolah. Mereka Ana dan Lena. Keduanya baru saja mendapatkan kertas hasil ulangan matematika kemarin. Ana tertunduk lesu memandang kertas ulangannya. Nilai matematikanya jelek karena ia sibuk bermain dan tidak menyempatkan diri untuk belajar. Sementara Lena mendapatkan hasil sempurna karena ia mempersiapkan diri dengan belajar di hari sebelumnya. Ana takut sesampainya di rumah ia akan dimarahi oleh kedua orangtua mereka. Lena yang sangat menyayangi saudarinya tak tega melihat Ana yang begitu lesu dan muram. Lena kemudian menawarkan posisi menggantikan Ana dengan menukar kertas hasil ulangan mereka. Sesampainya di rumah, Lena dimarahi habis habisan oleh orangtua mereka. Sementara Ana dipuji karena orangtua mereka pikir Ana lah yang mendapatkan nilai bagus. Lena menahan sedih melihat Ana dipuji dan diberi hadiah oleh orangtua mereka. Kejadian ini terjadi terus menerus. Lena yang terlalu menyayangi saudaranya terus menerus berkorban demi Ana. Sementara sikap Ana tidak berubah. Ana justru semakin menggampangkan diri. Ana semakin tidak pernah belajar karena Lena terus menerus menutupi kesalahan Ana. Orangtuanya juga semakin memanjakan Ana karena mengira Ana lah yang selalu mendapatkan nilai bagus di sekolah. Sementara Lena terus menerus menjadi korban karena Ana selalu membujuk Lena untuk bertukar posisi atau Ana akan berpura pura sedih dan muram.
Lihatlah situasi dimana tindak kebaikan menjadi katalis dari sifat jelek apabila tidak dilanjutkan dengan tuntutan moral sebagai bentuk tanggung jawabnya. Sangatlah bagus menjadi seorang yang berhati baik, namun apabila kebaikanmu itu tidak disertai dengan keberanian dalam meminta "bayaran", maka akan dipastikan "madu" yang kauberikan justru menjadi pemanis dari sebuah "racun". Kebaikan tanpa kebijaksanaan akan menghasilkan kerugian.
No comments:
Post a Comment